memorabilia/me·mo·ra·bi·lia/ /mémorabilia/ n sesuatu atau
peristiwa yang patut dikenang
Sebagai seorang newbie yang baru berkenalan dengan dunia
buku foto, jujur saya merasa agak kesulitan menelaah isi dan pesan implisit
yang tersirat. Karena itulah dari sekian banyaknya buku foto yang dipamerkan
dalam Pameran Buku fotografi di Goethe Institut Bandung pada tanggal 14 – 27
Januari 2017 lalu, saya tertarik dengan buku foto yang membawakan tema
personal, sebuah tema yang dekat dan mungkin sekali kita sebagai pembaca juga
mengalami hal yang serupa dengan si pembuat karya.
Mas Aftonun Nuha melalui karya buku fotonya yang berjudul
Memorabilia of A Stranger, menghadirkan kembali deretan kenangan akan sosok
ayah yang tidak pernah ia kenal secara personal. Pada umumnya kenangan kuat
terhadap seseorang akan tercipta jika kita telah mengenalnya dan melewati
sekian banyak hal bersama. Lalu bagaimana kenangan tersebut bisa hadir dari
orang yang bahkan tidak akan bisa lagi kita temui? Sebagai seorang anak yang
tumbuh dan berkembang tanpa figur pendamping seorang ayah, buku foto ini menjadi
sebuah cara bagi Mas Aftonun Nuha untuk semakin mengenal lebih dalam sosok Ayah
yang selama ini hanya ia dengar dari cerita sanak saudara.
Mas Aftonun Nuha melakukan sebuah time travel, menyelami
kehidupan masa kecil hingga dewasa ayahnya. Ia banyak memotret hal-hal yang
bersifat dekat tentang ayahnya seperti jurnal, pakaian, suasana rumah masa
kecil, tempat di kampung halaman yang sering ayahnya kunjungi, kaset band
favorit, pakaian, dan sebagainya. Sebagai pembaca saya mulai memahami bahwa
setiap benda dan tempat yang ada dalam buku foto ini memiliki cerita sekaligus
memberikan pandangan baru bagi Mas Aftonun Nuha dalam usahanya mengenal sosok
sang ayah. Salah satu interpretasi kuat yang saya rasakan adalah
intelektualitas sang ayah yang tersirat dari
foto catatan dan jurnal berisi jalan pikiran, ide, serta gagasan milik
ayahnya.
Pada setiap foto dalam buku foto ini tidak disertai oleh
caption langsung dalam halaman foto. Caption tersebut sengaja diletakkan
diakhir halaman buku foto lengkap beserta fotonya dalam ukuran mini. Metode
seperti ini tentu saja memberikan kebebasan bagi para pembaca untuk
menginterpretasikan sendiri setiap fotonya sekaligus mendorong pembaca untuk
semakin eksploratif tanpa harus dituntun dengan caption–caption yang mungkin
bisa saja membatasi para pembaca. Selama membaca buku foto ini, saya merasakan
intensi dari Mas Aftonun agar kita benar – benar bisa larut dalam sequence.
Sequence seperti apa? Sequence yang membawa kita dari yang tadinya clueless
pada awal-awal buku, makin lama makin menemukan jawaban yang lebih jelas dari
keabu-abuan itu. Pada halaman terakhir buku foto ini, sosok Ayah yang awalnya
terasa asing dan samar – samar, tidak lagi menjadi sosok fiksi yang Mas Aftonum
ketahui dari “katanya dan katanya”. Sedikit demi sedikit melalui rangkaian foto
yang ada, sosok itu terasa lebih nyata dan dekat.
“Rindu”, “maaf”, dan “bersyukur” – tiga kata yang mewakili
perasaan saya selama membaca buku foto ini. Walaupun saya pribadi tidak
mengalami hal yang serupa dengan Mas Aftonun, tapi buku foto ini sukses membuat
saya merenung dan seperti “tersentil” ketika merunut kembali relasi saya dengan
ayah saya sendiri. Ketika beranjak remaja, saya lebih banyak bercerita personal
kepada ibu, lebih banyak menghabiskan waktu dengan beliau atau malah sibuk
dengan urusan sekolah dan pertemanan. Saya cukup banyak melewatkan waktu –
waktu berharga yang harusnya bisa menjadi quality time bersama ayah saya.
Mungkin kita lebih banyak menjumpai lagu, puisi, buku, film,
foto dan karya – karya lain yang bercerita tentang ibu. Dan hanya sedikit yang
berorientasi pada figur seorang ayah. Melalui buku foto ini, menarik sekali bagaimana kenangan dari benda
– benda mati bisa menghidupkan kembali memori tentang Ayah. Isu personal yang dibawakan melalui visual
foto – foto nya juga dengan mudah dikaitkan dengan pengalaman pribadi para
pembacanya. Fotografi pun tidak melulu berbicara soal seni atau ironi negeri.
Lebih dalam dari itu – fotografi adalah medium abadi bagi memori.